Rabu, 14 Januari 2015

Job Seeker vs Job Creator

Tugas IV


Banyak sekali pilihan dalam hidup ini yang membuat kita terbentur pada pilihan yang rumit.  Hal ini berlaku untuk apapun. Well saya merujuk pada suatu malam di mana saya melihat dan mendengar betapa bahagianya mereka para pemuda pemudi bangsa yang telah menyelesaikan studynya di universitas. Sebuah penantian yang ditunggu akhirnya berbuah manis, namun apakah lulus adalah akhir dari sebuah perjuangan? Saya pikir tidak.
Kita boleh bahagia dan merayakan keberhasilan tersebut, namun jangan terlena dengan itu. Saya teringat dengan salah satu quote : “In every ending there is a new beginning of the next up“. Setiap akhir suatu cerita pasti menjadi awal bagi cerita baru dalam hidup kita. Beban baru senantiasa kita sandang ketika satu tugas telah rampung. So, buat yang baru tamat sekolah ataupun kuliah, welcome to the real world.
Inilah saat di mana idealnya kita memulai untuk independen, baik dalam hal membuat keputusan, menanggung biaya hidup, memilih cara hidup, dan juga pekerjaan. Well, saya fokus kepada pekerjaan. Ada dua pilihan, being a job seeker or a job creator. Jawabannya ada di diri kita masing-masing.
***
Being a Job Seeker
Ketika kita memilih menjadi job seeker, maka kita kembali dihadapkan pada pilihan jenis pekerjaan. Apakah jenis pekerjaan yang kita inginkan? Linear dengan ilmu yang kita pelajari atau justru sebaliknya. Keduanya baik dan punya konsekuensi masing-masing.
Pekerjaan yang linear  dengan ilmu yang sebelumnya kita pelajari memberikan kita kesempatan untuk mengaplikasikan langsung ilmu tersebut serta dapat mengembangkannya dengan lebih real. Pekerjaan seperti ini lebih mudah untuk kita beradaptasi karena kita telah memiliki ilmu basicnya.
Berbeda halnya dengan jenis pekerjaan yang tidak linear dengan disiplin ilmu kita. Di sini penuh tantangan dan dibutuhkan kecakapan untuk belajar dengan cepat serta tekanan yang lebih besar. Meski demikian, pekerjaannya akan memberikan pengalaman baru serta ilmu baru bagi kita. Modal utamanya adalah kemampuan untuk beradaptasi, bersosialisasi, berkomunikasi, fast learner, serta keinginan yang kuat untuk menaklukan setiap hal yang notabenenya baru bagi diri kita.
Setelah memilih jenis pekerjaan (linear atau tidak linear dengan disiplin ilmu kita), hal berikutnya yang akan kita hadapi adalah jenis instansi/kantor tempat di mana kita akan bekerja. Pemilihan tempat untuk bekerja tidaklah mudah karena kita dihadapkan pada keterbatasan kesempatan kerja dan jumlah instansi yang ada untuk menampung kita. Dalam hal ini, sebagai generasi muda, umumnya akan sangat labil. Ada yang memilih tempat kerja (dan juga pekerjaannya) karena gengsi dan adapula karena kesenangan hati. Keduanya sangat bertolak belakang dan konsekuensinya tidaklah mudah. Jujur saja, pada umumnya kita memilih pekerjaan karena mengedepankan gengsi, bukan hati. Kita bekerja demi prestise (penilaian orang lain). Kita mengabaikan suara jiwa (baca hati). Inilah mengapa bekerja menjadi momok yang justru membuat kita berujung pada stress. Karena kita tidak menikmati pekerjaan itu. Bagi saya, being happy is my priority. Kalau kita senang, maka pekerjaan pasti dapat diselesaikan dengan baik. Dan ketika pekerjaan diselesaikan dengan baik, berarti kita memberikan yang terbaik. Ini tentu akan membuat kita lebih puas dan secara tidak langsung peningkatan karir akan datang dengan mudahnya, bahkan tanpa di duga-duga.
Kebahagian menjadi  seorang job seeker lebih bersifat individu, kalaupun mau kita perluas, paling jauh yakni kebahagian keluarga kita. Karena hasil dari pekerjaan kita hanya dapat dirasakan oleh diri kita dan keluarga saja. Namun being a job seeker bisa jadi sebuah langkah awal untuk belajar hingga kita menemukan kepercayaan diri to start our own business (being a job creator), isnt it?
***
Being a Job Creator
Sebagai generasi muda, saya pikir being a job creator justru lebih mulia. Ingat ada istilah “yang muda yang dipercaya”. Secara eksplisit ini menegaskan bahwa terbuka peluang yang luas bagi kawula muda untuk berkarya, untuk menjadi pemberi solusi, untuk menjadi penerang. Dan untuk itu kita harus menjadi seorang creator. Butuh kreatifitas dan keberanian.
Menjadi job creator tidak sulit, meski tidak pula dibilang mudah. Kita dihadapkan pada tantangan untuk sukses dan gagal yang pointnya sama, yakni 50:50. Tapi dengan perhitungan dan analisa yang tepat justru bisa dibuat menjadi 99 : 1. Semuanya kembali kepada personalnya dan seberapa matang dirinya dalam membuat analisa atas rencananya. Ini sangat mungkin terjadi dengan berbekal ilmu secara teori serta tidak segan untuk belajar dari pengalaman para pendahulu.
Next, menjadi job creator berarti mengurangi pengangguran karena kita dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. So, satu langkah justru bisa menjadi berkah bagi banyak pihak.
Apapun pilihan kita, baik menjadi a job seeker or a job creator, pastikan kita menjadi personal yang totally dalam menjalaninya. Sehingga setiap benturan akan tampak sebagai kerikil untuk dilewati, bukan dikeluhkan. Mari kita bekerja dengan hati, bukan mengedepankan gengsi.
Semangat Muda, Mari berkarya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar